Keterlambatan bicara atau dikenal dengan speech delay banyak menjadi momok bagi orang tua. Speech delay adalah kondisi dimana anak mengalami keterlambatan bicara dibanding anak seusianya.
“Speech delay tanpa ada gangguan medis, paling banyak sekarang adalah kesalahan cara stimulasi dan over gadget,” kata dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi dr. Riri Prima Yolanda, Sp.KFR, Ped (K) di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. M. Djamil, Kamis (30/1).
Ia menekankan yang paling mengkhawatirkan adalah tidak hanya anak-anak umur 3 sampai 5 tahun. Sekarang itu anak-anak usia 6 bulan sampai di bawah 1 tahun pun sudah diberi handphone. Sehingga anak kehilangan kemampuan bagaimana cara berinteraksi dan kehilangan kemampuan untuk bisa memahami bahasa verbal.
“Yang lebih susahnya adalah kadang-kadang bahasa verbal yang ditonton itu bahasa Inggris. Sedangkan orang tua, nenek dan kakek tidak satu pun bisa berbahasa Inggris. Akhirnya ada perbedaan bahasa antara bahasa pemahaman yang dimiliki anak dengan bahasa sehari-hari digunakan oleh orang tua. Sehingga orang tua merasa anak tidak bisa bicara tapi anak menggunakan bahasa asing. Karena tontonan yang dilihat adalah bahasa asing sedangkan stimulasi dari orang tua kurang,” ungkapnya.
Kondisi demikian, sebut dr. Riri, mengkhawatirkan. Karena ujung dari keterlambatan bicara adalah keterlambatan ketika membaca dan menulis. “Jadi anak-anak yang terlambat bicara tentu kita berpikir tidak ada gangguan kognitif. Tapi jika ini tidak diselesaikan dengan baik, ketika mereka sekolah maka prestasi sekolahnya tidak bisa optimal seperti dengan kemampuan kecerdasannya,” sebutnya.
Ia mengatakan keterlambatan orang tua mengetahui anaknya terlambat bicara atau speech delay karena ada mitos bahwa kalau anak bisa jalan dulu biasanya dia akan terlambat bicara, terutama anak laki-laki. Secara perkembangan memang anak laki-laki lebih sering mengalami keterlambatan bicara.
“Tapi ada mitos di pasien kita atau keluarga kita bahwa memang biasa itu terlambat nanti juga bisa. Mungkin kalau dulu itu masih bisa karena kebiasaan berinteraksi main dengan keluarga besar atau tetangga. Sedangkan kondisi bermain sekarang adalah masing-masing anak itu main di rumah sendiri dan sudah jarang kita lihat anak-anak itu main dengan satu tetanggaan,” tuturnya.
Ia mengatakan dulu bisa dengan mengharapkan bantuan bicara dari sosialisasi antara anak seumuran. Kalau anak-anak sekarang justru mengharapkan bantuan keluarga besarnya. “Nah ketika keluarga besar juga hanya memberikan handphone saja akhirnya dia tidak berkembang bahasanya,” sebutnya.
Ia mengungkapkan ada sebagian orang tua, kakek dan nenek merasa bahwa ketika anaknya bisa menggunakan handphone sedini mungkin maka anaknya itu pintar. “Padahal dari penelitian, anak-anak yang banyak menggunakan gadget justru aktivitas otaknya lebih kurang dibanding anak-anak bermain di luar,” ucap dr. Riri.
Ia menekankan terapi yang tepat diberikan untuk anak gangguan bicara atau speech delay. Pertama, kita akan melihat dulu kondisi anak dari rentang apakah yang terganggu. Jadi, kadang-kadang kita tidak langsung ke terapi wicara. “Kadang-kadang kita melihat anak ini kemampuan untuk atensi dan konsentrasinya kurang, kemampuan untuk berinteraksinya kurang, tidak mengerti cara main dan mengikuti perintah saat main. Kalau seandainya itu terjadi maka kita biasanya mengajak dulu untuk bermain,” ujarnya.
Apalagi, tutur dr. Riri, Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. M. Djamil memiliki ruangan sensor integrasi. “Biasanya kita ajak main disitu sampai anaknya paham bahwa saya harus berinteraksi dengan orang lain. Bahwa saya bisa mengikuti perintah dan saya bisa mengimitasi gerakan-gerakan tertentu,” ucapnya.
Nah setelah itu baru kita mengajak anak ke terapi wicara. Di terapi wicara biasanya kita mulai dulu dengan latihan pernapasan jika anak itu belum bisa mengeluarkan suara. Atau bisa melakukan oromotor stimulasi. “Setelah itu kita mengajarkan anak bahasa pemahaman bahwa benda ini namanya bola dan ini namanya mobil. Walaupun belum bisa mengucapkan. Selanjutnya baru kita mengajarkan anak ini bagaimana mengucapkan kata satu silabel, dua silabel. Kemudian tanya jawab dan terakhir bisa membuat kalimat serta artikulasinya baik,” ungkap dr. Riri.
Ia berharap dengan kita bisa mengajarkan anak-anak ini bicara kalimat dan komunikasi dua arah, mereka bisa paham logic thinking dan lain-lain nanti mereka sekolah bisa mengambil kesimpulan dari apa yang mereka baca. “Ujungnya adalah persiapan sekolah,” tukasnya.(*)