Epilepsi tidak Bisa Sembuh Total tapi Dapat Diobati dan Dikontrol

Instalasi Promosi Kesehatan dan Pemasaran RSUP Dr. M. Djamil bersama KSM Neurologi RSUP Dr. M. Djamil/Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas memberikan penyuluhan tentang Kenali Gejala Epilepsi sejak Dini, Kamis (6/2). Penyuluhan itu diadakan dalam rangka memperingati Hari Epilepsi International yang jatuh pada 12 Februari 2025.

Bertindak sebagai narasumber dalam penyuluhan adalah dr. Lydia Susanti, Sp.N, M.Biomed, MPd.Ked. Kegiatan yang berlangsung di Poliklinik Saraf Gedung Administrasi dan Instalasi Rawat Jalan ini diikuti oleh pasien dan keluarga pasien.

“Epilepsi atau ayan adalah gangguan sistem saraf pusat akibat aktivitas listrik yang tidak normal. Akibatnya dapat timbul kejang, sensasi perilaku yang tidak biasa dan hilang kesadaran. Dan bangkitan terjadi tanpa pencetus setidaknya 2x dengan jarak >24 jam,” kata dr. Lydia Susanti, Sp.N, M.Biomed, MPd.Ked saat penyuluhan.

Ia mengatakan bangkitan itu dibagi atas dua yakni bangkitan epilepsi dimana terjadi tanda atau gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas saraf berlebihan di otak. “Dan bangkitan non-epilepsi dimana terjadi tanda atau gejala sesaat yang tidak diakibatkan aktivitas saraf abnormal dan berlebihan di otak,” tuturnya.

Ia mengungkapkan jumlah penderita epilepsi di Indonesia mencapai 1,5 juta atau 0,5 persen-0,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Epilepsi dapat menyerang laki-laki dan perempuan pada semua ras dan usia.

“Penyebab epilepsi ini adalah kelainan struktur otak, genetik, infeksi, masalah imunitas. Kemudian masalah metabolisme dan tidak diketahui (idopatik),” sebutnya.

Tanda dan gejala epilepsi, sebutnya, kebingungan sementara, tatapan mata kosong, gerakan menghentak tak terkendali pada tangan dan kaki. Selanjutnya, kehilangan kesadaran dan gejala psikis seperti ketakutan, kecemasan dan de javu.

“Kekakuan otot, gemetar atau kejang pada sebagian tubuh (wajah, lengan atau kaki) atau keseluruhan. Dan kejang yang diikuti oleh tubuh menegang dan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang bisa menyebabkan orang itu terjatuh,” paparnya.

dr. Lidya menyebutkan epilepsi tersebut dibagi atas dua jenis. Yakni pertama, epilepsi umum yang ditandai dengan kejang absans seperti melamun dan kejang tonik-klonik seperti kelojotan.

“Kedua, epilepsi parsial (lokal) berupa tanpa kehilangan kesadaran (simple) dan dengan kehilangan kesadaran (kompleks),” sebutnya.

Ia memaparkan jenis epilepsi yang banyak dijumpai adalah epilepsi dengan kejang kelojotan tampak kaku. “Namun terdapat pula penderita epilepsi tampak diam saat terjadi kekambuhan,” ucapnya.

Ada pun pemicu munculnya kejang, tutur dr. Lidya, disebabkan oleh cahaya, kurang tidur, demam, stres berlebihan, suasan bising berlebih. “Lupa minum obat, hormonal dimana periode menstruasi pada wanita, kadar gula darah turun dan konsumsi alkohol serta obat-obatan,” sebutnya.

Bagaimana cara penanganan pertama epilepsi yang harus dilakukan? dr. Lidya menjelaskan tetap tenang, dampingi dan jaga penderita, beri alas untuk kepala, catat dan amati durasi kejang serta apa saja yang terjadi saat kejang. Kemudian longgarkan pakaian penderita.

“Posisikan penderita miring (posisi recovery). Posisi recovery dimaksudkan penderita yang telah berhenti kejang dapat dimiringkan tubuhnya dan bertujuan apabila penderit muntah, muntahan tidak masuk ke jalan napas. Terakhir panggil ambulans jika kejang tidak berhenti dalam waktu 5 menit,” sebutnya.

Cara penanganan seperti apa yang tidak boleh dilakukan? Ia menyebutkan menahan atau mengikat atau menghentikan gerakan hentakan penderita, memasukkan sesuatu (sendok, jari dan lain-lain) ke dalam mulut penderita. “Memberikan makan dan minum sebelum penderita sadar penuh, serta melakukan resusitasi jantung paru pada penderita,” tegasnya.

Ia mengatakan kejang pada penderita epilepsi perlu dihentikan. “Karena pada anak, sering berhubungan dengan gangguan tumbuh kembang, dapat memicu penurunan intelektual, stigma masyarakat, dampak psikologis penderita da dapat mengancam nyawa,” tuturnya.

Ia menyebutkan terapi mulai dilakukan bila bangkitan dua kali dalam setahun, bangkitan satu kali, kemungkinan berulang besar. Dimana kelainan MRI, EEG, ada epilepsi saudara kandung, ada cedera otak berat dan sindroma epilepsi.

“Bangkutan satu kali dengan status epileptikus dan pasien atau keluarga sudah diberikan penjelasan tentang tujuan terapi dan efek samping terapi,” ucapnya.

Penderita epilepsi, sebut dr. Lidya, minum obat minimal dua tahun bebas bangkitan, gambaran rekam otak (EEG) normal, dilakukan bertahap dan satu per satu jika minum lebih dari satu obat. Harus diilakukan konsultasi dan atas persetujuan dokter ahli.

“Dengan prinsip start low go slow, monoterapi, dosis minimal, dan jangka waktu lama. Tujuannya bebas kejang dan tanpa efek samping obat,” ujarnya.

Ia menekankan sebagian besar kasus epilepsi tidak bisa sembuh secara total. Namun dapat diobati dan dikontrol agar tidak sering kambuh. “Kuncinya adalah dikontrol dengan pengobatan rutin dan konsisten hingga frekuensi kejang menurun hingga menghilang,” tukasnya.

Dalam penyuluhan itu tidak hanya pemaparan materi. Tapi juga diwarnai dengan sesi tanya jawab oleh pasien dan keluarga pasien. (*)

Berita

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WeCreativez WhatsApp Support
Jam Layanan Informasi : Senin s/d Kamis jam 07.45 wib s/d 16.15 Istirahat jam 12.00 wib s/d 13.00 wib Jumat 07.45 wib s/d 16.45