Mengenal Peritoneal Dialysis, Metode Cuci Darah lewat Perut

Berdasar data riset kesehatan dasar bahwa penderita ginjal kronik setiap tahun meningkat. Dan apabila penyakit ginjal kronik itu sudah sampai pada stadium akhir maka dia memerlukan terapi pengganti ginjal.

Selama ini kita tahu bahwa terapi ginjal yang sangat dikenal adalah hemodialisis atau yang biasa kita kenal dengan cuci darah. Sebenarnya ada satu lagi di samping transplantasi ginjal, itu ada namanya peritoneal dialysis. Bisa dikatakan sebagai cuci air atau cuci perut.

“Jadi tindakan ini sebenarnya lebih sederhana dibanding dengan hemodialisis atau cuci darah. Kita bisa lihat di sini jika pasien menginginkan tindakan peritoneal dialysis, nanti dokter bedah akan memasang alat di dalam rongga perutnya. Kemudian kita akan memasukkan cairan ke dalam rongga perut dan dibiarkan selama lebih kurang delapan jam,” kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi dr. Drajad Priyono, SpPD-KGH, FINASIM di Instalasi Diagnostik Terpadu RSUP Dr. M. Djamil, belum lama ini.

Dan ini akan sangat nyaman karena berbeda dengan hemodialisis atau cuci darah. “Itu pasien akan ditusuk setiap homedialisis, ditusuk dua kali dengan dua jarum. Ini tentunya akan menyakitkan. Dan biasanya darahnya akan ditarik keluar menuju mesin dialisis sehingga sering terjadi tekanan darah turun, pasien menjadi shock, dan juga akan menimbulkan masalah di akses atau pembuluh darah yang kita gunakan sebagai alat untuk menarik darah dari dalam tubuh kita,” ungkapnya.

Dengan CAPD atau peritoneal dialysis ini, tegas dr. Drajad, sebenarnya lebih diutamakan bagi anak-anak, pasien gangguan jantung dan pasien-pasien yang aksesnya pembuluh darahnya tidak bagus. “Dan hasilnya memang kalau kita lihat dibanding hemodialisa hampir sama. Bahkan pasien-pasien kita menjalani CAPD atau peritoneal dialysis itu merasa nyaman. Karena memang minumnya agak lebih bebas, makannya lebih bebas dan pasien-pasien yang menjalani peritoneal dialysis ini jarang yang mengalami anemia atau kurang darah. Oleh karena memang dalam proses peritoneal dialysis atau cuci air itu, darahnya tidak ada yang keluar. Kita hanya memasukkan cairan dalam perut kemudian cairan itulah yang akan menyerap racun-racunnya. Setelah delapan jam kita buang dan kita ganti dengan cairan yang baru. Itu bisa berlangsung tiga atau empat kali sehari,” paparnya.

Ia menegaskan cuci air ini berbeda dengan hemodialisis ini. Kalau hemodialisis, pasien datang ke rumah sakit dua kali seminggu. Sedangkan CAPD atau peritoneal dialysis pasien hanya datang mengambil cairan satu kali satu bulan. Bahkan sekarang sedang diupayakan cairan itu bisa diantarkan ke rumah pasien. Jadi ini sangat memudahkan pasien untuk menjalani peritoneal dialysis.

“Dan bagi pasien yang jauh dari rumah sakit dan tidak memiliki unit layanan hemodialisis bisa memilih peritoneal dialysis sebagai alternatif terapi pengganti ginjal,” sarannya.

Dengan mengenalkan terapi ginjal, sebut dr. Drajad, salah satunya peritoneal dialysis bisa menjadi alternatif bagi pasien yang menderita penyakit ginjal kronik stadium akhir. “Jadi percayalah dokter bedah urologi yang memasang alat ini ke dalam rongga perut sudah ahli dan tidak perlu dikhawatirkan. Dan pemasangannya pun tidak menimbulkan rasa sakit dan lebih nyaman,” tuturnya.

Nanti setelah dua minggu, ucap dr. Drajad, alatnya bisa dipakai dan sudah bisa digunakan. Sehingga pasien bisa kembali ke daerah dan melanjutkan cuci airnya di tempat masing-masing. Dan tidak perlu lagi datang ke rumah sakit dua kali seminggu. “Inilah keunggulan peritoneal dialysis dibanding hemodialisis,” tukasnya. (*)

Berita

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WeCreativez WhatsApp Support
Jam Layanan Informasi : Senin s/d Kamis jam 07.45 wib s/d 16.15 Istirahat jam 12.00 wib s/d 13.00 wib Jumat 07.45 wib s/d 16.45